Melalui jaringan backlink yang kami miliki merupakan penyedia jasa backlink menerima berbagai backlink Indonesia dengan layanan jasa backlink murah yang kami kelola secara manual dan profesional. Kami menawarkan jasa backlink terbaik. Bagaimana cara membeli backlink dari kami?. Silahkan 👉 Hubungi Kami! harga sangat terjangkau!

Content Placement

Berikut adalah daftar 50 situs Jaringan Backlink kami!
01. Backlink Indonesia 26. Iklan Maluku Utara
02. Backlink Termurah 27. Iklan Nusa Tenggara Barat
03. Cara Membeli Backlink 28. Iklan Nusa Tenggara Timur
04. Iklan Aceh 29. Iklan Online Indonesia
05. Iklan Bali 30. Iklan Papua
06. Iklan Bangka Belitung 31. Iklan Papua Barat
07. Iklan Banten 32. Iklan Riau
08. Iklan Bengkulu 33. Iklan Semesta
09. Iklan Dunia 34. Iklan Sulawesi Barat
10. Iklan Gorontalo 35. Iklan Sulawesi Selatan
11. Iklan Internet 36. Iklan Sulawesi Tengah
12. Iklan Jakarta 37. Iklan Sulawesi Tenggara
13. Iklan Jambi 38. Iklan Sulawesi Utara
14. Iklan Jawa Barat 39. Iklan Sumatra Barat
15. Iklan Jawa Tengah 40. Iklan Sumatra Selatan
16. Iklan Jawa Timur 41. Iklan Sumatra Utara
17. Iklan Kalimantan Barat 42. Iklan Terbaru
18. Iklan Kalimantan Selatan 43. Iklan Yogyakarta
19. Iklan Kalimantan Tengah 44. Jaringan Backlink
20. Iklan Kalimantan Timur 45. Jasa Backlink
21. Iklan Kalimantan Utara 46. Jasa Backlink Murah
22. Iklan Kepulauan Riau 47. Jasa Backlink Terbaik
23. Iklan Lampung 48. Jasa Backlink Termurah
24. Iklan Link 49. Media Backlink
25. Iklan Maluku 50. Raja Backlink

Kami jaringan backlink sebagai media backlink bisa juga menerima content placement yakni jasa backlink termurah kami di dalam artikel. Pesan segera jasa backlink termurah ini. Karena kami adalah raja backlink yang sebenarnya!

Peluang Agen Iklan Online

Negara Kecil Akan Segera Tenggelam

Info informasi Negara Kecil Akan Segera Tenggelam atau artikel tentang Negara Kecil Akan Segera Tenggelam ini semoga dapat bermanfaat, dan menambah wawasan. Selamat Membaca! Jangan lupa dishare juga! Jika merasa artikel ini bermanfaat juga untuk orang lain.
Maria Tiimon Chi-Fang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Perempuan yang mewakili Kiribati dalam konferensi Aliansi Negara Kepulauan Kecil (Alliance of Small Island States/AOSIS) pekan lalu di Doha, Qatar, tak puas pada hasil kesimpulan. Intinya, negara-negara maju belum memberi dukungan penuh terhadap aksi penyelamatan musibah karamnya negara-negara kepulauan yang miskin.

"Ini membuat kita sedih, terutama di Kepulauan Pasifik karena Selandia Baru dan Australia membuat janji yang tak mengikat. Sementara, Kanada tidak mendaftar komitmen periode kedua pada emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto," katanya, Jumat (7/12/2012).


Sedianya, negara-negara kecil itu menuntut kesepakatan soal pemotongan emisi gas rumah kaca yang baru dalam menggantikan Protokol Kyoto. Artinya, diharapkan dapat memecahkan kewajiban diferensial pada negara-negara kaya dan miskin. Namun, Selandia Baru, Jepang, Rusia, dan Kanada mengatakan mereka menarik keluar dari aksi perjanjian penyelamatan karena berseteru dengan Cina.


AOSIS yang menjadi wadah 43 negara kepulauan kecil yang telah mencapai kesepakatan di Durban tak berkuasa menghadapi keinginan negara makmur, terutama Uni Eropa. Chi-Fang mengingatkan negara-negara kepulauan kecil, seperti Kiribati dan Tuvalu hanya menghitung hari untuk terhapus dari peta. "Ada begitu banyak negosiasi dan diskusi tentang masalah ini, tapi negara-negara pulau kecil marah dengan hasilnya karena mereka tampaknya tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi," sergah dia.

Ketakutan Chi-Fang memang beralasan. Beberapa kawasan kini didera kenaikan air laut di atas rata-rata global, yakni 3 milimeter tiap tahun. Seperti di permukaan laut di garis pantai Perth, Australia Barat, air naik tiga kali lipat. Menteri Infrastruktur Federal Anthony Albanese mengungkapkan catatan naiknya permukaan laut yang dilakukan sejak tahun 1993 menunjukkan angka antara 9 mm dan 10 mm per tahun.

Pencairan lapisan es di Arktik makin mengancam cepatnya kenaikan permukaan air laut dibanding perhitungan sebelumnya. Wilayah air bersuhu hangat meluas akibat melelehnya gletser dan lapisan es. Alhasil, volume air laut di dunia meningkat.

Publikasi studi pertengahan tahun ini oleh Rahmstorf Universitas Wageningen Belanda memasukkan faktor-faktor tambahan dari Arktik ini menyimpulkan: bahkan bila rencana dunia internasional berhasil, pemanasan global hingga 2 derajat Celcius, maka permukaan laut global pada 2300 rata-rata meningkat 1,5 sampai 4 meter dari kondisi saat ini. Hal ini bisa menghancurkan daerah pesisir dunia dan kota-kota besar yang terletak di sekitarnya. "Misalnya, bagi kota New York, kenaikan permukaan laut sampai 1 meter akan meningkatkan frekuensi banjir besar yang tadinya sekali satu abad menjadi setiap tiga tahun sekali," demikian perkiraan Rahmstorf.

Karena itu, 14 negara kecil terancam hilang, terutama di kawasan Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, Palau, dan Nauru. Pemanasan global ini juga akan menelan minimal 18 pulau di muka bumi seperti tujuh pulau di Manus, Niugini.

Bagaimana nasib mereka kini? Lihat saja Kiribati, negara berpenduduk 107.800 orang ini, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang tenggelam. Pulau-pulau ini tampaknya bakal menyusul tiga pulau karang di Kiribati yang sudah tenggelam lebih dulu.



Tak berbeda dengan Tuvalu. Negara yang dahulu dikenal dengan Kepulauan Ellice juga kehilangan beberapa pulau dari 114 pulau yang mengelilingi negara di antara Hawaii dan Australia di Samudra Pasifik tersebut. Sebab, titik tertinggi di daerah ini hanya 5 meter di atas permukaan laut.

Yang paling menarik adalah Nauru. Eksploitasi besar-besaran telah mendefisitkan permukaan tanah negara daerah Pasifik Selatan, sekitar 500 km dari Papua itu. Meski sebenarnya Nauru punya dataran hingga 200 meter di atas permukaan laut, kini tetangga Tuvalu ini juga siap dilalap air bah.

Sedikit mundur ke belakang, negara dengan luas 21 km persegi ini, pada dekade 1980-an menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan per kapitanya pada 1981 hingga US$17.000 , jauh di atas Indonesia yang kala itu hanya US$530. Fosfat merupakan tambang utama.

Tercatat, lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung Guano yang menumpuk selama ratusan, bahkan ribuan tahun lalu sehingga menjadi fosfat. Setelah merdeka dari Australia pada 31 Januari 1968, pertambangan fosfat bisa menghasilkan hingga 41 juta ton. Kemudian, terjadilah eksploitasi besar-besaran.

Lambat laun, cadangan fosfat Nauru menipis. Sampai 2006, banyak pertambangan besar Nauru tutup akibat habisnya pasokan fosfat. Singkat kata, negara ini bangkrut. Utangnya mencapai US$240 juta. Gedung pencakar langit seperti Nauru House, Sydney's Mercure Hotel, Royal Randwick Shopping Center, dan hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne yang merupakan milik konglomerat Nauru harus dilego.

Di samping itu, terjadi kerusakan lingkungan. Greenpeace mencatat, 90% wilayah itu kini sudah tak layak huni. Nauru lantas menuntut Inggris, Australia, dan Selandia Baru bayar ganti rugi atas kerusakan ekologinya. Dengan alasan, perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Nauru berasal dari ketiga negara itu.

Akhirnya atas keputusan bersama, Australia membayar US$2,5 juta per tahun selama 20 tahun. Sementara, Inggris dan Selandia Baru, masing-masing membayar US$12 juta. Nyatanya, dana itu tak bisa menyelamatkan lingkungan. Vegetasi hijau dan habitat mamalia musnah sehingga hewan di sana bisa dihitung jari.

Masalah kian pelik karena lahan telah kehilangan cadangan air. Nauru menjadi daerah gersang dan mengalami penyusutan lahan secara drastis. Menurut Greenpeace, masa rehabilitasi membangun kembali ekosistem negara ini butuh waktu 30 tahun dengan biaya sekitar US$200 juta.

Itulah alasan mengapa Nauru bersama negara-negara kepulauan kecil lainnya meminta negara maju ikut membantu. AOSIS yang berdiri sejak 1990 terus mendengungkan suara Small Island Developing States (SIDS) akibat pemanasan global.

Baru-baru ini AOSIS berhasil menekan Selandia Baru guna menggelontorkan bantuan. Menteri Luar Negeri Murray McCully pekan ini melakukan tur di Kepulauan Marshall, Kiribati, dan Tuvalu guna memberikan bantuan.

AOSIS juga mendorong PBB untuk ikut bertanggung jawab. Menurut mereka dari 43 keanggotaan AOSIS, 37 negara merupakan anggota PBB yang  sedang berjuang dari malapetaka tenggelam. AOSIS sedang giat mengampanyekan perjanjian baru 2015 yang mengikat negara kaya dan miskin dalam mengatasi perubahan iklim terkait Protokol Kyoto.


Demikian artikel tentang Negara Kecil Akan Segera Tenggelam ini dapat kami sampaikan, semoga artikel atau info tentang Negara Kecil Akan Segera Tenggelam ini, dapat bermanfaat. Jangan lupa dibagikan juga ya! Terima kasih banyak atas kunjungan nya.